Laman

Senin, 09 Agustus 2010

Kritik sastra pada masa modern

Pada masa modern kesusastraan arab sudah mengenal tiga jenis genre sastra yaitu; puisi, prosa, dan drama.
Puisi arab masa modern
Pada masa modern terdapat dua gerakan pembaharuan dalam puisi arab,yaitu gerakan pembaharuan Arab dan gerakan pembaharuan ala barat.
1.Gerakan Pembaharuan Arab
Zainal Abidin membagi perkembangan ini dalam dua fase, yaitu fase tradisional dan fase pembaharuan. Fase pertama, perkembangan puisi masih meneruskan tradisi masa Usmani. Akan tetapi, fenomena-fenomena kebangkitan sudah tampak sedikit dalam perluasan tema, cara deskripsi, dan penggunaan bahasa. Sebagai contoh puisi pada fase ini adalah puisi Ismail al-Khasyab (w.1834 M).
Sementara itu, fase kedua dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pelopornya adalah Mahmud Samy al-Barudy dan Ahmad Syauqy dengan alirannya yang terkenal; neoklasik. Fenomena kemunculan pemikiran neoklasik sebagai gerakan Arab memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern. Bila neoklasik Barat berorientasi menghidupkan sastra Yunani dan Latin kuno, maka neoklasik Arab berkeinginan untuk menghidupkan keindahan puisi Abasiyah, seperti puisi Abu Nawas, Abu Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabby, al-Ma’arry, dan al-Buhtury. Keindahan puisi Abbasiyah secara stilistik dikombinasikan dengan semangat dan tema baru. Tak dapat dipungkiri bahwa kemunculan neoklasik adalah reaksi atas kedatangan Perancis tahun 1798. Gerakan ini disambut oleh para sastrawan lain seperti, Hafiz Ibrahim, Ismail Sobry, Aly al-Jarim dari Mesir, Ma’ruf al-Rasasy dan Jamil Sidqy dari Irak, Basyarah al-Khaury dari Lebanon.
2.Pembaharuan Ala Barat.
Pelopor gerakan ini adalah tiga serangkai: Abbas Mahmud Aqqad, Abdul Qadir al-Maziny, dan Abdurrahman Syukri. Mereka ini adalah pembesar madrasah Diwan yang melakukan counter balik terhadap gerakan neoklasik yang masih mempertahankan corak puisi lama atau “too traditional”. Sebaliknya, mereka mengajak pada perubahan yang total. Adapun para sastrawan yang terpengaruh oleh kebudayaan Perancis adalah Khalil Mutran, sementara dari kalangan kritikus adalah Muhamad Husein Haikal dan Toha Husen.
Aliran ini mengkritik metode Taqlid kepada karya klasik yang dilakukan oleh kelompok neoklasik. Menurut kelompok ini, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Adapun sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja sebagai bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga tetap orisinil. Syukri menekankan bahwa bila penyair Arab membaca sastra bangsa lain, mereka seharusnya hanya ingin memperbaharui makna dan menemukankreatifivitasbaru,bukanmenjiplak
Prosa Arab Masa Modern
Pada masa modern ini genre prosa memiliki banyak genre seperti khitobah, risalah, maqalah, kissah, uqsussah, dan drama. Semenjak munculnya Mustafa Lutfi al-Manfaluti, timbul dua aliran dalam bidang prosa yaitu;
1.Aliran klasik yang lebih memperhatikan teknik penyampaian dan keindahan bentuk disertai oleh perhatian terhadap ide. Aliran ini didukung oleh orang-orang arab asli terpelajar, oleh karena itu mereka sangat perhatian terhadap problematika bangsa Arab dan Agama Islam, membela warisan budaya dan kejayaan mereka. Mereka adalah Ar-rafi’I ,al-bisyri, dan al-zayyad
2. Aliran modern, yang terpengaruh oleh peradaban dan sastra Barat. Mereka memberi warna pemikiran dan gaya baru dalam sastra Arab, serta perhatian terhadap kritik sastra, jelas, kreatif, ide mendalam, analitis. Mereka telah menulis bentuk-bentuk baru dalam prosa arab seperti, kisah, drama dalam gaya yang mudah dicerna, metodologis, seperti Toha Husen, Aqqad, dan Taufiq al-Hakim.
Drama Arab Masa Modern
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase:
1.fase Marun Nuqas al-Lubnani yang meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhil karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2.fase Abu Khalil al-Qubbani di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
3. fase Yakkub Sannu’. Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
4.fase perkembangan pada awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya diterangkan ini. Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah, Athil, Macbat, dan Hamlet. Fase kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial. Fase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur. Fase keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga draman barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah, dan Ta’am Likulli Famm.

2 komentar: