Laman

Selasa, 07 September 2010

Senin, 09 Agustus 2010

Kritik sastra pada masa modern

Pada masa modern kesusastraan arab sudah mengenal tiga jenis genre sastra yaitu; puisi, prosa, dan drama.
Puisi arab masa modern
Pada masa modern terdapat dua gerakan pembaharuan dalam puisi arab,yaitu gerakan pembaharuan Arab dan gerakan pembaharuan ala barat.
1.Gerakan Pembaharuan Arab
Zainal Abidin membagi perkembangan ini dalam dua fase, yaitu fase tradisional dan fase pembaharuan. Fase pertama, perkembangan puisi masih meneruskan tradisi masa Usmani. Akan tetapi, fenomena-fenomena kebangkitan sudah tampak sedikit dalam perluasan tema, cara deskripsi, dan penggunaan bahasa. Sebagai contoh puisi pada fase ini adalah puisi Ismail al-Khasyab (w.1834 M).
Sementara itu, fase kedua dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pelopornya adalah Mahmud Samy al-Barudy dan Ahmad Syauqy dengan alirannya yang terkenal; neoklasik. Fenomena kemunculan pemikiran neoklasik sebagai gerakan Arab memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern. Bila neoklasik Barat berorientasi menghidupkan sastra Yunani dan Latin kuno, maka neoklasik Arab berkeinginan untuk menghidupkan keindahan puisi Abasiyah, seperti puisi Abu Nawas, Abu Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabby, al-Ma’arry, dan al-Buhtury. Keindahan puisi Abbasiyah secara stilistik dikombinasikan dengan semangat dan tema baru. Tak dapat dipungkiri bahwa kemunculan neoklasik adalah reaksi atas kedatangan Perancis tahun 1798. Gerakan ini disambut oleh para sastrawan lain seperti, Hafiz Ibrahim, Ismail Sobry, Aly al-Jarim dari Mesir, Ma’ruf al-Rasasy dan Jamil Sidqy dari Irak, Basyarah al-Khaury dari Lebanon.
2.Pembaharuan Ala Barat.
Pelopor gerakan ini adalah tiga serangkai: Abbas Mahmud Aqqad, Abdul Qadir al-Maziny, dan Abdurrahman Syukri. Mereka ini adalah pembesar madrasah Diwan yang melakukan counter balik terhadap gerakan neoklasik yang masih mempertahankan corak puisi lama atau “too traditional”. Sebaliknya, mereka mengajak pada perubahan yang total. Adapun para sastrawan yang terpengaruh oleh kebudayaan Perancis adalah Khalil Mutran, sementara dari kalangan kritikus adalah Muhamad Husein Haikal dan Toha Husen.
Aliran ini mengkritik metode Taqlid kepada karya klasik yang dilakukan oleh kelompok neoklasik. Menurut kelompok ini, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Adapun sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja sebagai bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga tetap orisinil. Syukri menekankan bahwa bila penyair Arab membaca sastra bangsa lain, mereka seharusnya hanya ingin memperbaharui makna dan menemukankreatifivitasbaru,bukanmenjiplak
Prosa Arab Masa Modern
Pada masa modern ini genre prosa memiliki banyak genre seperti khitobah, risalah, maqalah, kissah, uqsussah, dan drama. Semenjak munculnya Mustafa Lutfi al-Manfaluti, timbul dua aliran dalam bidang prosa yaitu;
1.Aliran klasik yang lebih memperhatikan teknik penyampaian dan keindahan bentuk disertai oleh perhatian terhadap ide. Aliran ini didukung oleh orang-orang arab asli terpelajar, oleh karena itu mereka sangat perhatian terhadap problematika bangsa Arab dan Agama Islam, membela warisan budaya dan kejayaan mereka. Mereka adalah Ar-rafi’I ,al-bisyri, dan al-zayyad
2. Aliran modern, yang terpengaruh oleh peradaban dan sastra Barat. Mereka memberi warna pemikiran dan gaya baru dalam sastra Arab, serta perhatian terhadap kritik sastra, jelas, kreatif, ide mendalam, analitis. Mereka telah menulis bentuk-bentuk baru dalam prosa arab seperti, kisah, drama dalam gaya yang mudah dicerna, metodologis, seperti Toha Husen, Aqqad, dan Taufiq al-Hakim.
Drama Arab Masa Modern
Sastra Arab baru mengenal genre drama pada masa modern. Mereka mengambil genre tersebut dari Barat. Dalam perkembangan berikutnya, seni drama di dalam sastra Arab adalah melalui empat fase:
1.fase Marun Nuqas al-Lubnani yang meresepsi seni drama ini dari Italia. Dalam karya dramanya berjudul al-Bakhil karya Muller. Kemudian diikuti pula oleh karya-karya drama yang lain seperti Harun al-Rasyid (1850). Karya dramanya yang bersifat jenaka musikal lebih dapat dikatakan sebagai seni operet yang begitu memperhatikan aspek musikalitas dari pada dialoq. Karya-karya dramanya dapat dicerna oleh cita rasa awam, hanya saja karya ini ditulis dengan menggunakan bahasa campuran antara fusha, ami, dan Turki dalam gaya longgar (tidak baku).
2.fase Abu Khalil al-Qubbani di Damaskus yang memajukan seni drama dengan menampilkan banyak sekali kriteria-kriterianya serta bercita rasa dapat dinikmati oleh awam dengan cara memilih drama-drama kerakyatan seperti alfu laylah. Dialognya menggunakan bahsa fusha berupa campuran antara puisi dan prosa yang kadang-kadang mempertimbangkan juga sisi persajakan. Ia terus menghasilkan karya-karya drama di Damskus antara 1878-1884. Sayangnya, beberapa saat setelah itu panggung dramanya ditutup dia pun lalu hijrah ke Mesir dan tetap menulis karya drama.
3. fase Yakkub Sannu’. Pada masa pemerintahan Ismail Basha yang pada saat itu dibangun gedung pertunjukan di mana disitu ditampilkan opera “Aida’ dengan menggunakan bahasa Perancis, dipentaskan pada pembukaan terusan Suez tahun 1869. Pada tahun 1876 muncul tokoh Mesir dalam bidang drama yang bernama Sannu’, populer dengan nama Abu Nazarah. Ia cenderung mengkritisi sosial politik dengan menggunakan bahasa ammi. Kelompok-kelompok penulis Siria dan Mesir melanjutkan penulisan karya drama di Mesir.
4.fase perkembangan pada awal abad 20. Hingga pada tahap ini, banyak drama di Mesir merupakan hasil terjemahan atau resepsi, sebagian diantaranya diterangkan ini. Fase pertama 1910, George Abyad pulang dari Perancis setelah di sana mempelajari prinsip-prinsip seni drama, lalu dibuatkan karya drama sosial antara lain berjudul Misr al-Jadidah tulisan Farh Anton, juga dibantu oleh Khalil Mutron dalam menerjemahkan beberapa novel Shakespeare seperti Tajir al-Bunduqiyah, Athil, Macbat, dan Hamlet. Fase kedua, adalah Yusuf Wahbi mendirikan kelompok ramsis yang memperhatikan tragedi. Ketua kelompok ini telah menulis kurang lebih 200 drama. muncul pula kelompok Najib al-Raihani yang memiliki kecenderungan drama komedi kritik sosial. Fase ketiga, pasca perang dunia pertama. Di dalam dunia drama muncul aliran Mesir Baru (madrasah al-Misriyah al-Jadidah) yang begitu perhatian terhadap karya drama. Memberikan sentuhan pada probelatika sosial serta cara-cara mengatasinya dengan pasti. Di antara tokohnya adalah Muhammad dan Mahmud Taymur. Fase keempat, mucullah penulis drama Arab modern terbesar Taufiq el-Hakim yang berhasil menuntaskan studi atas prinsip pokok drama di Perancis. Ia menulis lebih dari 60 judul karya drama lengkap dengan struktur dan temanya, demikian pula dialog dan penokohannya. Taufiq begitu ambisius untuk dapat menyertai gerakan perkembanga modern dalam dunia drama. Oleh karena itu, tampak terus mengikuti perkembanga draman barat beserta kecenderungannya. Tidak heran, bila ia dapat berpindah-pindah tema dari drama sejarah ke drama sosial, lalu drama ideologis yang menyelesaikan problema mentalitas. Setelah di dunia Barat muncul drama absurd, ia pun juga melakukan hal yang sama berjudul, Ya Tali’ Syajarah, dan Ta’am Likulli Famm.

QASHR (القصر)

Secara etimologis qashr adalah (الحبس) yang artinya terpenjara. Secara terminologis Qashr adalah pengkususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus. Setiap qashr memiliki dua tharaf, yaitu maqshur (مقصور) dan maqshur ‘alaih (مقصور عليه). Berdasarkan kaitan kedua tharafnya, qashr dibagi menjadi dua, yaitu qashr ‘ala maushuf dan qashr maushuf ‘ala shifat.
Sarana-sarana Qasrh yang termashur ada empat, yaitu;
a. Nafyi (ما)dan Istisna’(الاّ), dan maqsur ‘alaihnya terdapat setelah huruf istisna’. Contoh:
• ما محمد الا رسول
• لا يعلم الغيب الا الله
b. Innama (انّما), dan Maqsur ‘alaihnya adalah lafad yang wajib disebut terakhir. Contoh:
• انما الحياة تعب
c. Athaf dengan laa (لا), bal (بل), atau laakin (لكن). Contoh:
• الارض متحركة لا ثابتة
• ماالارض ثابتة لكن متحركة
• ماالارض ثابتة بل متحركة
Bila athafnya memakai huruf laa, maka maqshur ‘alaihnya adalah lafad yang bertolak belakang dengan lafad yang jatuh setelah laa, dan bila athafnya itu dengan bal atau laakin, maka maqshur ‘alaihnya lafad yang didahulukan
d. Didahulikannya lafad yang seharusnya diakhirkan. Disini maqsur ‘alaihnya adalah lafad yang didahulukan. Contoh:
• طالب انت
Pembagian Qashr Menjadi Haqiqi dan Idhafi
Berdasarkan hakikat dan kenyataan, qashr itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hakiki, adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaihnya berdasarkan hakikat dan kenyataan, yaitu sama sekali maqshur, tidak lepas dari maqshur ‘alaih kepada yang lain. Contoh:
• انما الرازق الله
b. Idhafi, adalah dikhususkannya maqshur pada maqshur ‘alaih dengan disandarkan kepada sesuatu yang tertentu. Contoh:
• لا جواد إلا علىّ

Gender dalam Perspektif Islam

Sebelum istilah gender berkembang, kita hanya mengenal seseorang disebut laki-laki atau perempuan berdasar ciri-ciri biologis seperti penis, vagina, rahim, sperma, indung telur, mengandung, melahirkan, dll. Tentu, karena identitas biologis merupakan pemberian Tuhan, semua ciri-ciri itu tidak bisa ditukar dan diubah. Lalu muncul istilah gender yang membantu kita mengenal seseorang sebagai laki-laki atau perempuan karena ciri atau peran yang dibentuk secara sosial-budaya, seperti lemah lembut, cengeng, suka merajuk, berperan di dalam rumah tangga, berotot, emosional, rasional, tangkas, menjadi kepala atau ibu rumah tangga, dan lain-lain. Karena semua identitas dan peran itu dibentuk berdasarkan perkembangan sosial-budaya, maka identitas dan peran itu bisa diubah.
Istilah gender berasal dari kata gen yang artinya pembawaan sifat embrio laki-laki maupun perempuan. Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan mana perbedaan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentuk budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan.
Gerakan gender muncul akibat dari konstruksi social-budaya masyarakat yang dianggap merugikan pihak perempuan, seperti anggapan perempuan cukup di dapur, sumur,dan kasur. Tujuan dari gender itu sendiri salah satunya adalah penyetaraan laki-laki dan perempuan dalam konstruksi sosial-budaya. Dengan merubah konstruksi sosial-budaya yang dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan, diyakini mampu mengatasi kesenjangan antara kaum laki-laki dengan perempuan, Sehinnga perempuan pun dapat duduk di kursi laki-laki.
Bagaimanakah tanggapan Islam melihat fenomena gender itu sendiri? Seperti diketahui Islam adalah agama yang telah mengangkat harkat dan martabat perempuan, yang dahulu pada masa jahiliyah, perempuan sangat terdiskriminasi, dibunuh, diperkosa, bahkan diperjualbelikan layaknya binatang ternak. Namun setelah kedatangan Islam, perempuan mulai mendapatkan kembali kedudukan yang layak.
Lalu bagaimana Islam mengatur kehidupan laki-laki dengan perempuan? Baiknya kita lihat ayat berikut:
“Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187),
Ayat diatas menunjukkan kemitraan dalam hubungan suami istri, yaitu hubungan timbal balik. Dalam hubungan timbal balik, suami istri (laki-laki dan perempuan ) saling mengisi dan melengkapi. Kita ketahui ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan biologis, hal ini menyebabkan ada peran perempuan yang tidak bisa digantikan laki-laki begitu pun sebaliknya, misalnya sperma, ovum, hamil, dan melahirkan. Kemudian bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial?
Struktur sosial budaya adalah segala bentuk sikap, perilaku dan reaksi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia untuk mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Jadi, struktur sosial-budaya dapat berubah karna tidak bersifat kodrati. Dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat kita pada umumnya sudah terbiasa melihat laki-laki yang bekerja di luar sedangkan perempuan bekerja dirumah saja. Suatu konstruksi sosial seperti ini bisa saja dibalikkan, tergantung dari kemampuan dari si suami dan si istri, apakah si suami yang mampu bekerja diluar ataukah si istri. Mengingat bahwasanya hubungan suami istri merupakan hubungan kemitraan yang saling melengkapi satu sama lain.
Namun, sering kali terjadi dalam suatu rumah tangga, dimana suami bekerja diluar dan si istri pun bekerja diluar. Disini akan terjadi permasalahan, sebab terjadi kekosongan di satu wadah yaitu rumah, dan tidak terjadi suatu proses saling melengkapi. jika hal ini dibiarkan akan berdampak buruk bagi kelangsungan sebuah keluarga. Anak-anak broken home, sebab tidak ada yang menjadi pendamping di dalam rumah. Dalam sebuah keluarga sebaiknya dibagikan peran, apakah itu suami yang mencari nafkah ataukah istri, tergantung siapakah yang mampu melaksanakannya, dan siapakah yang mengurus rumah,dan mendampingi anak-anak.
Sering kali terjadi kasus buruk, akibat kosongnya suatu wadah dari peran laki-laki maupun perempuan, sebagai contoh kasus, kita melihat data Julie balligton, swedia merupakan Negara yang paling banyak nenempatkan perempuan di bangku parlemen yaitu 42,7%. Akan tetapi jumlah ini berkolerasi negative terhadap kondisi keluarga. 50% bayi di swedia lahir dari ibu yang tidak menikah (peringkat 2 dunia) menurut kompas (4/9/1995), sedangkan menurut data yang dikumpulkan maisar yasin 60% pernikahan berakhir dengan percerian (peringkat 1 dunia). hal ini terjadi bukan dikarnakan perempuan duduk di bangku parlemen, melainkan dikarnakan adanya ruang kosong yang tidak di isi suatu peran, apakah itu laki-laki, maupun perempuan.
Dari penjelasan diatas, Islam menanggapi gender sebagai suatu fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran saling melengkapi satu sama lain, sehingga keharmonisan dalam kehidupan social dapat tercapai.

Faktor-Faktor Pendorong Kebangkitan Sastra Arab.

PENDAHULUAN
Penyerbuan tentara Holako menyebabkan hancurnya kota Baghdad, dan dengan hancurnya kota Baghdad berarti hancurlah pusat ilmu pengetahuan umat islam. dengan penyerbuan ini pula akhirnya menyebabkan banyak dari para ulama dan penyair yang lari ke Syam dan Kairo.
Penyerangan kota Baghdad menyebabkan perkembangan sastra sangat lemah. Kegairahan penyair untuk mencipta jauh berkurang dari masa sebelumnya. Bait-bait syair pada masa ini hanya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada khaliq.
Setelah larinya para ulama dan penyair dari Baghdad ke Syam dan Mesir, akhirnya kedua kota ini menjadi pusat pengetahuan umat islam yang baru, terutama Mesir. Kebangkitan Sastra di Mesir pada abad modern diawali dengan berkembangnya aliran sastra yang kemudian dikenal dengan aliran konservatif (Tayyar al-Muhafidzin), yaitu aliran yang merekonstruksi ruang lingkup sastra dengan tetap merevivalisasi sastra klasik serta mengembangkan tema sastra sesuai dengan kondisi kekinian. Pelopor aliran ini adalah Mahmud Samial Barudi ( 1838-1904).
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwasanya kesusastraan arab telah bangkit kembali pada masa modern, dan pastinya ada faktor-faktor pendorong yang menyebabkan kesusastraan arab kembali berjaya. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan faktor-faktor pendorong bangkitnya kembali kesusastraan arab, secara terinci.
Faktor-Faktor Pendorong Kebangkitan Sastra Arab.
Kebangkitan Sastra di Mesir pada abad modern diawali dengan berkembangnya aliran sastra yang kemudian dikenal dengan aliran konservatif (Tayyaral Muhafidzin) , yaitu aliran yang merekonstruksi ruang lingkup sastra dengan tetap merevivalisasi sastra klasik serta mengembangkan tema sastra sesuai dengan kondisi kekinian. Pelopor aliran ini adalah Mahmud Samial-Barudi(1838-1904).Pembaharuan yang dilakukan Barudi bukan melakukan sweeping atau menyapu bersih kaidah-kaidah sastraklasik, seperti qowafi (rhyme) dan wazan(ritme).Oleh karena itu aliran ini disebut muhafidziin karena mereka tetap menjaga parameter sastra yang diwariskan secara turun-temurun dari sastrawan-sastrawan klasik. Namun demikian, pembaharuan Barudi hanya sebatas pembaharuan pada diksi tema yang dikaitkan dengan kondisi pada zamannya atau hasil dari interaksi langsung dengan sosial budaya masyarakat pada waktu itu.
Terlepas dari Barudi, kebangkitan sastra arab diawali dengan beberapa faktor, Berikut ini kami akan sampaikan secara singkat faktor-faktor yang menyebabkan bangkitnya kembali kesusastraan arab.
1. Bersatunya antara kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. Pada awal kurun yang lampau yang diusung pertama kali oleh Napoleon Bonaparte dan pengambilan kekuasaan dari tangan para komunis , dan lain dari pada itu negara bagian timur menjadi tempat bekerja bagi mereka, dan mereka menjadikan bahasa arab sebagai bahasa yang resmi untuk menyebar luaskan beberapa ajaran dan sastra. Adapun beberapa pekerjaan mereka yang ada di Suriah tidak terlepas dari beberapa peninggalan yang ada di Mesir, maka dibangunlah beberapa sekolah dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Syam Nasrani, maka keluarlah beberapa kelompok dari mereka yang mempunyai kelebihan berbahasa Arab dan kemudian mengembangkan keilmuwan dan kesusastraan arab.
2. Bertambahnya jumlah orientalis di Eropa bagian timur dan usaha mereka terus berlanjut hingga mendapatkan beberapa publikasi Arab dan dicetaklah beberapa buku berbahasa Arab, dan beberapa tulisan perserikatan Asuyah yang membahas tentang berbagai ilmu dan masalah-masalah ketimuran , sehingga bertambahlah tempat mutiara-mutiara ilmu dan sastra.
3. Dibangunnya sekolah yang bermacam-macam yang didirikan Muhammad Ali Basya dengan bantuan para pengajar dari Eropa dan beberapa ulama Mesir. Dan dibangun pula -sekolah yang didirikan oleh Khudhowi Ismail, yang merupakan sekolah bahasa Arab yang sangat besar, sedangkan sekolah sastra yaitu sekolah Darul Ulum. maka tercetaklah dari sekolah-sekolah ini ratusan guru, hakim, dan para penulis kitab.
4. Adanya utusan kaderisasi ilmu pengetahuan, yaitu Muhammad Ali Basya dan Ismail Basya kepada sejumlah kerajaan yang ada di Eropa untuk menyampaikan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dan pengutusan tersebut berjalan selama 12 tahun.
5. Adanya propaganda dalam pembelajaran bahasa asing, sehingga sistem pengajaran pada saat itu dengan cara paksa seperti yang ada di Mesir dan Syam dan sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah pusat da’wah. Dari sanalah banyak di nukil kalimat-kalimat yang berbahasa Perancis kedalam bahasa Arab. Maka dengan adanya Atsar dari bahasa tersebut, beberapa hasil pemikiran orang-orang pada waktu itu dapat terbukukan dan menyebar luas hingga mereka mampu menerjemahkan ribuan kitab dan riwayat, makalah-makalah politik ilmiah kedalam bahasa Arab. Maka hal tersebut juga dimanfaatkan bagi orang yang tidak paham dengan bahasa asing sehingga menjadi tahu dengan jelas sastra yang yang mendalam.
6. didirikannya percetakan berbahasa Arab di Mesir, Syam, dan konstantinopel. kemudian dicetaklah beberapa mushaf-mushaf dan beberapa kitab ilmu sastra. Dan diantara kitab-kitab yang terpenting yang tercetak untuk menghidupkan kembali bahasa Arab dan kesusastraanya, yaitu kitab-kitab yang berbentuk kamus seperti kamus istilah dan beberapa penjelasan, Lisanul Arab yang sifat khusus membahas tentang kalamul Arab, dan beberapa kitab sastra seperti: kitab Al-Aghani Wal Aqdul Farid karangan Al Hariri, Al-Badi’, Amalil Qali dan Shahi A’syaa. Dan beberapa kitab-kitab syair yang sangat banyak jumlahnya. Adapun kitab-kitab sejarah seperti: karangan At-thabari dan Ibnul Atsir, kitab Muqoddimah karangan Ibnu Khaldun, dan beberapa kitab-kitab modern yang lainnya yang tersebar di Eropa.
7. Diterbitkannya surat kabar Arab yang ada di Mesir Syam dan Konstantinopel. Dan koran pertama di Arab yaitu Al-Waqoi’Al-Misriyah yang terbit pada tahun 1828. Awalnya sebagian teks berbahasa Turki, yang kemudian dirancang kembali oleh Syek Hasan Al-Ithari dan Syek Syihabuddin, sehingga kemudian terpisah antara yang berbahasa Arab dan Berbahasa Turki dan kemudian pada akhirnya hanya berbahasa Arab saja kemudian dicetak dengan tulisan Arab Nashi dan Arab Farisi dan terbit selama tiga kali dalam satu minggu hingga sekarang.
Sedangkan koran yang berbahasa Arab pertama kali terbit di Suriah yaitu Hadiqatul Akbar yang terbit pada tahun 1808, sedangkan di Konstantinopel pada tahun 1860, yang mana redakturnya adalah Ahmad Faris. Kemudian terbit juga setelah itu koran Suriah resmi pada tahun 1865. Adapun koran yang pertama kali terbit di Mesir setelah Al-Waqai’adalah Wadi Annaily (koran lama) dan terbit pula koran-koran yang lain seperti Al-Iskandariyah, Azzaman, Al-Ibtidal, Al-Fallak Wal Ahram, Al-Muqtim, Wal Muayyad, Wal-Lukluk, Wal-Ilmu, Wal Jaridah dan Syuad..
8. Adanya kelompok-kelompok ilmuwan dan sastrawan, dan yang paling terkenal pada saat itu Syek Jamaluddin Al-Afghari.
9. Adanya kreasi seni berbahasa Arab, pertama kemunculannya di Syam kemudian menyebar ke Mesir, yang bertujuan untuk memberantas budaya buta seni, dan kelemahan dalam berbahasa Arab yang pasih dan lancar.
10. Adanya peraturan baru di Al-Azhar dan sekolah-sekolah dasar, yang memasukkan materi-materi baru dari berbagai macam ilmu, atas ide Syek Muhammad Abduh.

KLAUSA DALAM BAHASA INDONESIA DAN ARAB

Kata linguistik berasal dari bahasa latin lingua yang bermakna bahasa, dan dalam bahasa Prancis berpadanan dengan kata langue,langage, dalam bahasa Italia berpadanan dengan kata lingua dan dalam bahasa Spanyol berpadanan dengan kata lengua. Kata linguistik dalam bahas Inggris ditulis linguistics yang dalam bahasa Prancis ditulis linguistique karena dalam bahasa Inggris beberapa nama ilmu pengetahuan selalu ditulis dalam bentuk jamak, misalnya mathematics, phonetics, physics, politics.
Dalam bahasa Arab, linguistik disebut ilmu lughah. Pada mulanya kata ilmu lughah tidak digunakan dengan makna linguistik atau kajian bahasa. Kata ilmu lughah pertama kali digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya “ Al-Muqaddimah” dan dimaksudkan sebagai ilmu ma’ajim atau lexicology.
Menurut Pringgodigdo dan Hasan Sadily, 1977 : (633-634) menjelaskan linguistik adalah “ Penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan. Tujuan utama ialah mempelajari suatu bahasa secara deskriptif. Mempelajari bahasa berdasarkan sejarah atau ilmu perbandingan bahasa berarti mempelajari hubungan suatu bahasa dengan bahasa yang lain.” Dan pengertian yang selaras juga dikemukakan oleh Kridalaksana (1993) dalam kamus linguistik, didefinisikan sebagai ilmu tentang bahasa atau penyelidikan bahasa secara ilmiah.
Ada empat tataran dalam kebahasaan (linguistik), yaitu fonologi (makhrajul huruf), morfologi (ilmu sharaf), sintaksis (ilmu nahwu), dan semantic. Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa (Abdul Chaer :2007). Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis perubahan kata dalam bahasa. sedangkan sintaksis adalah bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis hubungan kata dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran. Dan yang terakhir adalah semantik yang merupakan bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis makan kata.
Sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’. Jadi, secara etimologis istilah itu berarti; Menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis sering disebut sebagai tataran kebahasaan terbesar. Menurut Ramlan (1976), Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mengkaji struktur frase dan kalimat. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bloch dan Trager ( dalam Tarigan, 1986) bahwa sintaksis adalah analisis mengenai konstuksi-konstruksi yang hanya mengikut sertakan bentuk-bentuk bebas.
Dalam pembahasan sintaksis yang biasa dibicarakan adalah (1) Struktur sintaksis yang mencakup masalah fungsi, kategori dan peran sintaksis, serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu. (2) Satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Dan (3) hal-hal lain yang berkenaan dengan sintaksis yang berupa modus, aspek dan sebagainya (Abdul Chaer : 2007)
Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai klausa yang merupakan salah satu tataran dalam sintaksis, dalam bahasa Indonesia dan Arab yang Insya Allah akan dipaparkan secara terperinci dengan jelas beserta contoh-contohnya yang tentu dalam bahasa Indonesia dan Arab.

1. Pengertian Klausa
A. Dalam Bahasa Indonesia
Klausa merupakan tataran didalam sintaksis yang berada di atas tataran frase dan di bawah tataran kalimat. Dalam berbagai karya linguistik mungkin ada perbedaan konsep karena pengunaan teori analisis yang berbeda. Sebagaimana para ahli saling berbeda dalam mendefinisikan klausa. Di dalam makalah ini kami akan mencoba menghadirkan beberapa pengertian klausa menurut para ahli, sebagai penambah wawasan kita:
• badudu
klausa adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar
• Prof. Drs. M. Ramlan
klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari P (predika), baik disertai oleh S (subjek), O (objek), Pel(aku), dan ket(erangan) ataupun tidak.
• Jos Daniel Parere
Klausa adalah sebuah kalimat yang memenuhi salah satu pola dasar kalimat inti dengan dua atau lebih unsur pusat.
• Kridalaksana
Klausa adalah satuan gramatik berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
• Tarigan
Klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat (p).

Pada pengertian-pengertian klausa yang dikemukakan para ahli diatas, kita bisa membandingkan antara satu pengertian dengan pengertian lainnya. Badudu mengatakan bahwa kalau klausa dilepaskan dari kalimat, maka bagian yang dipisahkan masih nampak sebagai kalimat. Antara pengertian yang dikemukakan Ramlan dengan Parere memiliki titik perbedaan. Pada definisi yang dikemukakan Ramlan jabatan predikat sebagai unsur kalimat sangat menentukan, sedangkan menurut Parere, kalimat yang dianggap klausa haruslah memenuhi salah satu dasar pola kalimat inti. Dengan demikian, satuan melompat bukanlah klausa menurut Parere tapi, menurut Ramlan merupakan sebuah klausa.
Pengertian-pengertian yang dikemukakan para ahli memang sedikit berbeda namun, kita masih dapat menarik benang merah dari definisi-definisi diatas, yaitu klausa adalah satuan gramatik yang bersifar predikatif. Berikut kami sediakan contoh :
• Nenek mandi
Contoh diatas merupakan sebuah kluasa sebab bersifat predikatif. Namun, akan timbul kembali pertanyaan, kalau begitu apa perbedaan klausa dengan kalimat? Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul linguistic umum menjelaskan, bahwa sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat (Abdul Chaer : 2007).

B. Dalam Bahasa Arab
Dalam bahasa Arab istilah klausa kurang dikenal oleh para pengkaji sintaksis bahasa Arab. Hal tersebut terjadi karena di dalam buku-buku induk ilmu nahwu sendiri tidak ada istilah khusus mengenai klausa. Di dalam buku-buku nahwu terdapat tiga istilah kunci yaitu: kalimah, jumlah, dan kalam. Jumlah dan kalam adalah istilah dalam bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan kalimat dalam bahasa Indonesia, sedangkan kalimah lazim disepadankan dengan kata.
Namun demikian, Al-Ghalayaini (1984) dalam bukunya yang berjudul jami’ ad-durus al-lugah arabiyah membedakan istilah jumlah dengan kalam. Menurutnya jumlah- disebut juga dengan murakkab isnady- adalah konstuksi yang terdiri dari S (musnad ilaih) dan P (musnad). sedangkan kalam adalah konstruksi yang terdiri atas S dan P, mengandung makna yang utuh, dan dapat berdiri sendiri. Dari definisi yang dikemukakan Al-Ghalayani tersebut dapat diartikan bahwa jumlah memang terdiri dari S dan P, tetapi tidak harus mengandung makna yang utuh dan tidak harus dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, definisi jumlah yang dikemukakan Al-Ghalayaini dapat disepadankan dengan klausa. Sedangkan, kalam dipadankan dengan kalimat.
Definisi yang mengatakan bahwa jumlah adalah konstruksi yang terdiri dari S dan P, tanpa mempersyaratkan keutuhan makna, dapat diterima. Kesimpulan ini didukung oleh adanya istilah atau konsep jumlah shartiyah dan khabar jumlah. Contoh:
• Jumlah shartiyah
 انّ تحترم الناس يحترموك
Khabar jumlah
 محمد يسافر ابوه الي مكة
ada contoh pertama, kalimat يحترموك merupakan sebuah klausa yang konstruksinya tidak dapat berdiri sendiri, sebab menjadi Jawab Syarti. Dan Pada contoh kalimat kedua, يسافر ابوه الي مكة merupakan sebuah klausa yang konstruksinya tidak dapat berdiri sendiri, sebab menjadi khabar dari محمد .

2. Jenis-Jenis Klausa dan Contohnya
Pada pembahasan sebelumnya, Al-Ghalayaini mengindikasikan klausa dengan jumlah atau murakkab isnady, dengan demikian jenis klausa dalam bahasa arab ada lima, jika kita melihat dari pembagian murakkab isnady, yaitu; susunan mubtada’ dan khabar, fi’il dan fail, isim kana (كان) dan khabar-nya, isim inna (انّ) dan khabar-nya, dan fi’il majhul dan naib-nya.
namun demikian, kami akan mencoba menyepadankan antara jenis-jenis klausa bahasa Indonesia dengan bahasa Arab.
Abdul Chaer dalam bukunya linguistik umum, membagi klausa menjadi dua yaitu:
A. Berdasarkan struktur
Pembagian klausa berdasarkan struktur terbagi kembali menjadi dua yaitu:
I. Klausa bebas
Adalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang kurangnya mempunyai S dan P; dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Contoh : konstruksi Nenekku masih cantik dan جاء الحقّ kedua contoh ini jika diberi intonasi akhir maka akan menjadi kalimat mayor.

II. Klausa terikat
Adalah klausa yang memiliki struktur tidak lengkap. Unsur yang ada dalam klausa ini mungkin hanya subjek saja, mungkin hanya objek saja, atau juga hanya berupa keterangan saja. Oleh karena itu, klausa terikat tidak mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Contoh: konstruksi tadi pagi yang bisa menjadi kalimat jawaban untuk kalimat tanya: kapan nenek membaca komik?; تفلح اذن yang merupakan jawaban pada orang yang berkata ساجتهد.

B. Berdasarkan katergori unsur segmental yang menjadi predikatnya.
I. Klausa verbal
Adalah klausa yang predikatnya berkategori verba; misalnya, klausa الدرس يكتب احمد, dan ahmad mandi.
II. Klausa nominal
Adalah klausa yang predikatnya berupa nomina atau prase nominal, misalnya انا طالب dan kakeknya petani di desa itu
III. Klausa ajektifal
Adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase. Misalnya : زيد جميل, dan gedung itu sudah tua sekali
IV. Klausa adverbial
Adalah klausa yang predikatnya berupa adverbia. Misalnya, klausa bandelnya teramat sangat.
V. Klausa proposisional
Adalah klausa yang predikatnya berupa preposisi. Umpamanya, انا من المكتبة, dan nenek di kamar mandi.
VI. Klausa numeral
Adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia. Misalnya, النثر له خمسة انواع, gajinya lima juta sebulan; anaknya dua belas orang; dan taksinya delapan buah.

Jika kita perhatikan contoh-contoh diatas yang berbahasa arab maka, padanan susunan fi’il fail dan fi’il majhul beserta naib-nya berpadanan dengan klausa verbal, dan susunan mubtada’ khabar berpadanan dengan klausa nominal, ajektifal, preposisional, dan numeral. Sedangkan susunan isim inna dan khabar-nya, dan susunan isim kanna dan khabar-nya padanannya sama dengan padanan mubtada’ khabar, mengingat susunan isim inna dan khabar-nya, dan isim khanna dan khabar-nya pada mulanya adalah susunan mubtada’ khabar, Hanya disana terjadi perubahan I’rab.
Untuk sekedar menambah informasi, bahwasanya Ramlan membagi klausa menjadi tiga jenis, dan yang ketiga ini, ia menggolongkannya pada klausa berdasarkan ada-tidaknya kata negative yang secara gramatik menegatifkan predikat. Jadi, Ramlan membaginya menjadi:
• Klausa Positif
Adalah klausa yang tidak memiliki kata-kata negative yang secara gramatik menegatifkan atau mengingkarkan P. contoh: محمد جميل, dan wajahnya cantik.
• Klausa Negative
Adalah klausa yang memiliki kata-kata negative yang secara gramatik menegatifkan P. contoh: الكاذب محبوبا ليس, dan wajahnya tidak cantik.

3. Perbandingan antara Klausa Bahasa Indonesia dengan Bahasa Arab
Al-Ghalayaini mengindikasikan klausa dengan jumlah, yaitu konstruksi yang terdiri dari musnad ilah (subjek) dan musnad (predikat) yang belum mengandung makna utuh. Definisi tersebut sejalan dengan definisi klausa dalam bahasa Indonesia. Jadi, dilihat dari segi makna, istilah klausa dalam bahasa Indonesia dengan bahasa Arab adalah sama. Walaupun istilah klausa sendiri tidak di kenal oleh para pengkaji bahasa Arab.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah subjek (S) dan predikat (P), dalam bahsasa arab kedua istilah ini dikenal dengan musnad dan musnad ilaih. Musnad ilaih berpadanan dengan subjek (S) sedangkan, musnad berpadanan dengan predikat (P).

Kalimat-Kalimat Yang Memiliki Mahal Dalam I’rab

الجمل التي لها محل من الاعراب
Kata الجمل adalah jamak dari kata الجملة (artinya kalimat). Apapun yang dimaksud dengan kalimat الجمل التي لها محل من الاعراب adalah setiap jumlah (الجملة ) yang mempunyai mahal (محل) atau kedudukan dalam i’rob baik itu jumlah ismiah (الجملة الإسمية) maupun jumlah fi’liyah ( الجملة الفعلية). Adapun perubahan bentuk pada jumlah ini tidak menyebabkan perubahan karena hanya di takwilkan saja.
Contoh seperti kalimat-kalimat berikut
1. خالد يذهبُ الى الفصل
2. كان خالد يذهبُ الى الفصل
Pada kalimat pertama kata يذهبُ merupakan jumlah fi’liah, dan adapun i’robnya adalah rofa’ karena menjadi khobar dari kata خالد . Sedangkan pada kalimat yang ke dua, kata يذهبُ kedudukan i’robnya adalah nashob (نصب ) karena menjadi khobar dari kaana ( خبر كان ).


1. MACAM-MACAM JUMLAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM I’ROB

Jumlah-jumlah yang mempunyai kedudukan dalam i’rob itu ada sembilan macam yaitu;
جملة الخبر (Jumlah khobar), جملة الحال (Jumlah hal), جملة مفعول به (Jumlah maf’ul bih), جملة الفاعل (Jumlah Fa’il), جملة نائب الفاعل (Jumlah naibul fa’il), جملة المضاف إليه (Jumlah mudlof ilaih), جملة جواب الشرط (Jumlah jawab syarat), جملة النعت (Jumlah na’at), جملة التابعة لجملة لها محل من الإعراب (Jumlah yang mengikuti kepada kedudukan jumlah yang sebelumnya.

1.1. جملة الخبر (Jumlah khobar)
Jumlah khobar adalah jumlah yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai khobar. Adapun mahal (محل) untuk jumlah ini adalah rofa’, dengan catatan menjadi khobar untuk mubtada, atau khobar inna (خبر إن واخواتها) atau la nafiaah liljinsi.
Contoh seperti kalimat:
محمد يقرأ الكتاب
Kata يقرأ merupakan jumlah fi’liah yang terdiri dari fi’il dan fa’il dan sekaligus berkedudukan sebagai khobar dari kata muhammad jadi mahal untuk kata يقرأ adalah ro’fa.

1.2. جملة الحال (Jumlah hal)

Jumlah hal adalah jumlah yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai hal (حال) baik yang berbentuk jumlah ismiah maupun jumlah fi’liah. Adapun mahal untuk jumlah ini adalah nashab,
Contoh dalam kalimat berikut:
لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى
جاءوا أباهم عشاء يبكون
Kalimat وأنتم سكارى pada kalimat diatas merupakan hal dari dhomir sehingga mahal untuk kalimat tersebut adalah nashab. Begitu juga dengan kalimat يبكون pada kalimat kedua, kalimat tersebut merupakan jumlah fi’liah yang terdiri dari fi’il dan fa’il. Adapun kedudukan jumlah tersebut adalah sebagai hal dari kata أباهم , sehingga mahal untuk kalimat tersebut adalah nashab.

1.3. جملة مفعول به (Jumlah maf’ul bih)

Jumlah maf’ul bih adalah jumlah yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai maf’ul bih (مفعول به) baik yang berbentuk jumlah ismiah maupun jumlah fi’liah. Adapun mahal untuk jumlah ini adalah nashab.
Contoh seperti dalam kalimat berikut:
قال إنى عبد الله
حسبتك يحسن القول
Kedua kalimat yang bergaris bawah diatas merupakan maf’ul bih dari kalimat yang sebelumnya sehingga mahal untuk kedua kalimat tersebut adalah nashab

1.4. جملة الفاعل (Jumlah Fa’il)

Jumlah fa’il adalah jumlah yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai fa’il (فاعل) . Adapun mahal untuk jumlah ini adalah rofa’.
Contohnya seperti dalam kalimat berikut:
أثلج صدرى أن الثقافة تتزايد
Kalimat أن الثقافة تتزايد merupakan fa’il dari kata أثلج sehingga mahal untuk kalimat tersebut adalah rofa’.

1.5. جملة نائب الفاعل (Jumlah naibul fa’il)

Jumlah naibul fa’il adalah salah satu jumlah yang dalam susunan kalimatnya mempunyai kedudukan sebagai naibul fa’il. Dan adapun mahal untuk jumlah ini adalah rofa’
Contohnya seperti dalam kalimat berikut:
علم الصدق فضيلة
Kata الصدق فضيلة adalah jumlah ismiah yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai naibul fa’il. Sehingga mahal untuk kalimat tersebut atau jumlah tersebut adalah rofa’


1.6. جملة المضاف إليه (Jumlah mudlof ilaih)

Jumlah mudlof ilaih adalah salah satu jumlah atau kalimat yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai mudlof ilaih. Adapun mahal untuk kalimat ini adalah khofadz atau jar.
Contoh seperti dalam kalimat berikut
سأستقبلك حين تعود
Kata تعود merupakan jumlah fi’liah yang berkedudukan sebagai mudlof ilaih sehingga mahal untuk kalimat tersebut adalah khofadz

1.7. جملة جواب الشرط (Jumlah jawab syarat)

Jumlah jawab syarat adalah salah satu jumlah atau kalimat yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai jawabul syarat. Adapun mahal untuk kalimat ini adalah jazm.
Contohnya seperti pada kalimat berikut:
إن يشرق فقد شرق أخ له من قبل
Kata شرق merupakan jumlah fi’liah yang pada susunan kalimatnya sedang berkedudukan sebagai jawab syarat dari kalimat sebelumnya yaitu إن يشرق , sehingga mahal untuk kalimat شرق adalah jazm.

1.8. جملة النعت (Jumlah na’at)

Jumlah na’at adalah salah satu jumlah atau kalimat yang dalam susunan kalimatnya berkedudukan sebagai sifat atas kata sebelumnya atau mensifati kata sebelumnya. Adapun mahal untuk jumlah na’at ini adalah tergantung kepada man’utnya (منعوت). Apabila man’utnya (منعوت) berkedudukan sebagai rofa’, maka mahal untuk jumlah na’at ini adalah rofa. Apabila man’utnya (منعوت) berkedudukan sebagai nashab, maka mahal untuk jumlah na’at ini adalah rofa’. Dan apabila man’utnya (منعوت) berkedudukan sebagai majrur, maka mahal untuk jumlah na’atnya adalah majrur
Contohnya seperti dalam kalimat berikut:
وجاء من أقصى المدينة رجل يسعى
واتقوا يوما ترجعون فيه
مررت برجل يخدم أمه
Kalimat yang bergaris bawah pada contoh diatas merupakah na’at atau sifat dari kata-kata sebelumnya, seperti pada kalimat pertama, terdapat kalimat يسعى , karena berada di depan isim nakiroh maka kalimat يسعى ini menjadi sifat dari kata yang sebelumnya yang berkedudukan sebagai fa’il sehingga mahal untuk jumlah ini adalah rofa’. Begitu juga dengan kalimat yang kedua, yaitu kalimat ترجعون menjadi na’at dari kata yang sedang berkedudukan sebagai nashab sehingga mahal untuk jumlah ترجعون ini adalah nashab. Dan yang terakhir yaitu kalimat يخدم yang menjadi na’at atau sifat dari sebuah isim yang kedudukan i’robnya adalah khofad atau jar sehingga mahal untuk jumlah يخدم ini adalah khofadz atau jar

1.9. جملة التابعة لجملة لها محل من الإعراب (Jumlah yang mengikuti kepada kedudukan jumlah yang sebelumnya)

Jumlah yang terakhir ini adalah jumlah yang mengikuti kepada jumlah yang sebelumnya, bisa kerena menjadi ma’thuf (معطف) ataupun menjadi badal (بدل) dari jumlah sebelumnya. Adapun mahal untuk jumlah ini adalah tergantung kepada mathbu’ahnya (مطبوعة) atau yang diikutinya. Mahal untuk jumlah ini akan menjadi rofa’, apabila mathbu’ahnya (مطبوعة) sedang dalam keadaan rofa’. Dan akan menjadi nashab apabila mathbu’ahnya (مطبوعة) sedang dalam keadaan nashab, dan bisa juga menjadi khofadz atau jar, apabila mathbu’ahnya (مطبوعة) sedang dalam keadaan khofadz atau jar.
Contohnya seperti dalam kalimat berikut
المال يروح و يأتى
وجدت العلم يرفع صاحبه و يسعده
كانت الشمس تبدو و تخفى
Pada kalimat yang pertama terdapat kalimat يأتى , kalimat ini merupakan jumlah fi’liah yang menjadi ma’thuf dari jumlah yang sebelumnya yang sedang dalam keadaan rofa’, maka mahal untuk kalimat يأتى ini adalah rofa’. Begitu juga pada kelimat-kalimat yang selanjutnya, kata-kata yang bergaris bawah merupakan ma’thuf dari jumlah-jumlah yang sebelumnya. Sehingga mahal untuk jumlah-jumlah tersebut akan mengikuti jumlah yang sebelumnya.