Sebelum istilah gender berkembang, kita hanya mengenal seseorang disebut laki-laki atau perempuan berdasar ciri-ciri biologis seperti penis, vagina, rahim, sperma, indung telur, mengandung, melahirkan, dll. Tentu, karena identitas biologis merupakan pemberian Tuhan, semua ciri-ciri itu tidak bisa ditukar dan diubah. Lalu muncul istilah gender yang membantu kita mengenal seseorang sebagai laki-laki atau perempuan karena ciri atau peran yang dibentuk secara sosial-budaya, seperti lemah lembut, cengeng, suka merajuk, berperan di dalam rumah tangga, berotot, emosional, rasional, tangkas, menjadi kepala atau ibu rumah tangga, dan lain-lain. Karena semua identitas dan peran itu dibentuk berdasarkan perkembangan sosial-budaya, maka identitas dan peran itu bisa diubah.
Istilah gender berasal dari kata gen yang artinya pembawaan sifat embrio laki-laki maupun perempuan. Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan mana perbedaan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentuk budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan.
Gerakan gender muncul akibat dari konstruksi social-budaya masyarakat yang dianggap merugikan pihak perempuan, seperti anggapan perempuan cukup di dapur, sumur,dan kasur. Tujuan dari gender itu sendiri salah satunya adalah penyetaraan laki-laki dan perempuan dalam konstruksi sosial-budaya. Dengan merubah konstruksi sosial-budaya yang dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan, diyakini mampu mengatasi kesenjangan antara kaum laki-laki dengan perempuan, Sehinnga perempuan pun dapat duduk di kursi laki-laki.
Bagaimanakah tanggapan Islam melihat fenomena gender itu sendiri? Seperti diketahui Islam adalah agama yang telah mengangkat harkat dan martabat perempuan, yang dahulu pada masa jahiliyah, perempuan sangat terdiskriminasi, dibunuh, diperkosa, bahkan diperjualbelikan layaknya binatang ternak. Namun setelah kedatangan Islam, perempuan mulai mendapatkan kembali kedudukan yang layak.
Lalu bagaimana Islam mengatur kehidupan laki-laki dengan perempuan? Baiknya kita lihat ayat berikut:
“Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187),
Ayat diatas menunjukkan kemitraan dalam hubungan suami istri, yaitu hubungan timbal balik. Dalam hubungan timbal balik, suami istri (laki-laki dan perempuan ) saling mengisi dan melengkapi. Kita ketahui ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan biologis, hal ini menyebabkan ada peran perempuan yang tidak bisa digantikan laki-laki begitu pun sebaliknya, misalnya sperma, ovum, hamil, dan melahirkan. Kemudian bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial?
Struktur sosial budaya adalah segala bentuk sikap, perilaku dan reaksi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Budaya adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia untuk mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Jadi, struktur sosial-budaya dapat berubah karna tidak bersifat kodrati. Dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat kita pada umumnya sudah terbiasa melihat laki-laki yang bekerja di luar sedangkan perempuan bekerja dirumah saja. Suatu konstruksi sosial seperti ini bisa saja dibalikkan, tergantung dari kemampuan dari si suami dan si istri, apakah si suami yang mampu bekerja diluar ataukah si istri. Mengingat bahwasanya hubungan suami istri merupakan hubungan kemitraan yang saling melengkapi satu sama lain.
Namun, sering kali terjadi dalam suatu rumah tangga, dimana suami bekerja diluar dan si istri pun bekerja diluar. Disini akan terjadi permasalahan, sebab terjadi kekosongan di satu wadah yaitu rumah, dan tidak terjadi suatu proses saling melengkapi. jika hal ini dibiarkan akan berdampak buruk bagi kelangsungan sebuah keluarga. Anak-anak broken home, sebab tidak ada yang menjadi pendamping di dalam rumah. Dalam sebuah keluarga sebaiknya dibagikan peran, apakah itu suami yang mencari nafkah ataukah istri, tergantung siapakah yang mampu melaksanakannya, dan siapakah yang mengurus rumah,dan mendampingi anak-anak.
Sering kali terjadi kasus buruk, akibat kosongnya suatu wadah dari peran laki-laki maupun perempuan, sebagai contoh kasus, kita melihat data Julie balligton, swedia merupakan Negara yang paling banyak nenempatkan perempuan di bangku parlemen yaitu 42,7%. Akan tetapi jumlah ini berkolerasi negative terhadap kondisi keluarga. 50% bayi di swedia lahir dari ibu yang tidak menikah (peringkat 2 dunia) menurut kompas (4/9/1995), sedangkan menurut data yang dikumpulkan maisar yasin 60% pernikahan berakhir dengan percerian (peringkat 1 dunia). hal ini terjadi bukan dikarnakan perempuan duduk di bangku parlemen, melainkan dikarnakan adanya ruang kosong yang tidak di isi suatu peran, apakah itu laki-laki, maupun perempuan.
Dari penjelasan diatas, Islam menanggapi gender sebagai suatu fenomena sosial, yang mana antara laki-laki dengan perempuan mempunyai peran saling melengkapi satu sama lain, sehingga keharmonisan dalam kehidupan social dapat tercapai.
Senin, 09 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar